Rabu, 23 Januari 2013

KOHERENTISME


Dalam koherentisme suatu kepercayaan bisa dirujuk dengan koherensi dari satu kepercayaan ke kepercayaan yang lain. Menurut teori ini, semua kepercayaan mempunyai kedudukan epistemic yang sama sehingga tidak perlu ada pembedaan antar kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan sebagaimana dibuat oleh fondasionalisme. Sekalipun tidak didasarkan pada fondasi yang kepercayaan tentangnya tidak diragukan lagi. Suatu kepercayaan sudah bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya kalau kepercayaan itu koheren atau konsisten dengan keseluruhan system kepercayaan yang selama ini diterima kebenarannya.
Koherentisme dibagi menjadi dua. Pertama koherentisme garis keras yang mengatakan bahwa suatu system jaringan disebut koheren, bukan hanya kalau komponen kepercayaan yang membentuknya konsisten satu sama lain, tetapi juga kalau mereka secara logis saling mengimplikasikan. Sedangkan kedua koherentisme moderat berpandangan bahwa suatu system jaringan kepercayaan disebut koheren apabila komponen kepercayaan yang membentuk system jaringan kepercayaan itu ebih dari sekedar konsisten satu sama lain, namun tidak perlu harus sampai secara logis saling mengimplikasikan.

HOLISME


Holisme adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa sistem alam semesta, baik yang bersifat fisikkimiawihayatisosialekonomimental-psikis, dan kebahasaan, serta segala kelengkapannya harus dipandang sebagai sesuatu yang utuh dan bukan merupakan kesatuan dari bagian-bagian yang terpisah. Sistem alam tidak dapat dipahami apabila kita mempelajarinya dengan cara memisahkan bagian-bagiannya: sistem harus dipelajari secara utuh sebagai suatu kesatuan.

KONEKSIONISME


Teori belajar koneksionisme dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949). Teori Thorndike dikenal dengan teori Stimulus-Respons. Menurutnya, dasar belajar adalah asosiasi antara stimulus (S) de¬ngan respons(R). Stimulus akan memberi kesan ke-pada pancaindra, sedangkan respons akanmendorong seseorang untuk melakukan tindakan. Asosiasi seperti itu disebut Connection.Prinsip itulah yang kemudian disebut sebagai teori Connectionism. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. 

Sabtu, 19 Januari 2013

ETOLOGI


Etologi berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti kebiasaan dan logos yang berarti ilmu atau pengetahuan. Ethos bisa pula berarti etis atau etika dapat juga berarti karakter. Jadi secara etimologi, etologi berarti ilmu yang mempelajari tentang kebiasaan atau karakter. Namun etologi lebih dahulu dikenalkan sebagai ilmu perilaku hewan.Teori ini juga menekankan bahwa kepekaan kita terhadap jenis pengalaman yang beragam berubah sepanjang rentang kehidupan, Dengan kata lain, ada periode kritis atau sensitif bagi beberapa pengalaman. Jika kita gagal mendapat pengalaman selama periode kritis tersebut, teori etologi menyatakan bahwa perkembangan kita tidak mungkin dapat optimal.

PANTHEISME


Dalam ajaran panteisme berlaku bahwa:
1.       Ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hokum-hukum alam semesta
2.       Penyembahan (pemujaan) kepada semua dewa dari berbagai kepercayaan
Dalam panteisme berlaku bahwa “Tuhan adalah semuanya” dan  “Semuanya adalah Tuhan”. Disini semua barang-barang, alam semesta dan sebagainya didudukkan dalam garis yang sama dengan Tuhan, dengan kata lain bahwa segala realitas di dunia ini adalah Tuhan. 

SKISMA


Dari arti katanya, skisma (schism) adalah perpecahan, biasanya terjadi pada suatu kelompok atau organisasi. Orang yang menganut paham ini adalah orang yang menghasut atau menciptakan perpecahan dalam suatu kelompok atau organisasi, ataupun dia mengasingkan diri dari kelompoknya tersebut. Perpecahan ini dapat melibatkan dua orang atau lebih bahkan antar kelompok. Perpecahan yang tercipta akibat adanya perbedaan pendapat dan pandangan antar pihak yang bersangkutan.

SOFISME


Sofisme adalah suatu ajaran dari para sofis pada zaman Yunani kuno. Sofisme dianggap sebagai ajaran yang tidak baik karena menyalahi etika dan moral. Para kaum sofis dianggap menggunakan kebebasan dengan cara yang salah untuk kepentingan dirinya sendiri. Bagi mereka kebenaran adalah relatif.Meskipun Para sofisme dianggap salah, namun ajaran mereka tetaplah ajaran filsafat karena interpretasinya adalah kebebasan manusia. Kebebasan manusia menurut para Sofis dibentuk oleh dirinya sendiri, bukan oleh hukum maupun moral yang hanya dianggap sebagai sebuah konvensi belaka. Jika masih dipikirkan secara abstrak maka ajaran para sofisme bisa dianggap suatu kebenaran, namun ia akan tetap salah ketika telah memasuki dunia nyata dan dipraktikan.

STOISISME




Ajaran stoisisme adalah bahwa manusia harus selaras dengan alam. Sebelum manusia menyelaraskan dirinya dengan alam. maka terlebih dahulu ia harus menyelaraskan dirinya sendiri yaitu menyelaraskan perilaku dengan akalnya. Akal disini juga bukan hanya akal pribadi manusia saja namun juga akal alam, yaitu hukum alam yang ada. dengan akal pribadi manusia, manusia mengetahui mana yang benar, kemudian akal pribadi itu juga disesuaikan dengan hukum alam yang ada.

KONSEKUENALISME


Konsekuensialisme mengharuskan kita memeriksa untuk melihat apakah tindakan atau kebijaksanaan yang sedang dipersoalkan sungguh-sungguh mengandung kebaikan yang dapat dikenali atau tidak.  Pelaku Konsekuensialisme sungguh-sungguh dalam memaksimalkan manfaat yang dihasilkan oleh keputusan. Paham ini berpegang pada prinsip bahwa suatu tindakan itu benar secara moral jika dan hanya jika tindakan itu memaksimalkan manfaat bersih. Dengan kata lain, suatu tindakan dan juga keputusan disebut etis jika konsekuensi yang menguntungkan lebih besar daripada konsekuensi yang merugikan.

KRITISISME



Tokoh utama Kritisisme adalah Immanuel kant yang melahirkan Kantianisme. Menurut Kant kritisisme adalah penggabungan antara aliran filsafat sebelumnya yaitu Rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes dan empirisme yang dipelopori oleh David Hume.
Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas daya pertimbangan. Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak dapat dijadikan melulu tolak ukur, karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata, tapi “tidak-real”, yang demikian sukar untuk dinyatakan sebagai kebenaran.
Melalui pemahaman tersebut, rasionalisme dan empirialisme harusnya bergabung agar melahirkan suatu paradigm baru bahwa kebenaran empiris harus rasional sebagaimana kebenaran rasional harus empiris.

Selasa, 01 Januari 2013

PENDEKATAN GUNUNG ES (ICEBERG) PADA PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA


Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) adalah salah satu pembelajaran matematika yang saat ini sedang dicoba untuk dikembangkan dalam pembelajaran matematika di Indonesia. Pendekatan ini diadopsi dari Realistic Mathematics Education yang dikembangkan di Belanda.  
Frans Moerland (2003) memvisualisasikan proses matematisasi dalam pembelajaran matematika realistik sebagai proses pembentukan gunung es (iceberg). Visualisasi dari proses matematisasi ini digambarkan sebagai berikut.
Menurut Prof. Dr Marsigit, maka skema pembelajaran matematika yang digambarkan sebagai gunung es ini, pada lapisan dasar adalah konkrit, kemudian di atasnya ada model konkrit , di atasnya lagi ada model formal dan paling atas adalah matematika formal.
Seperti yang kita tahu, gunung es terbentuk mula-mula dari dasar laut, kemudian semakin ke atas, ke atas dan sampailah pada pembentukan puncaknya yang terlihat di atas permukaan laut . Seperti Gunung-gunung pada umumnya, bagian dasar gunung es, yang paling dasar tentunya memiliki daerah atau wilayah yang lebih luas dibandingkan dengan bagian atasnya. Sedangkan matematika yang diajarkan pada kebanyakan sekolah sekarang hanyalah matematika yang tampak di atas permukaan air laut saja dalam gunung es tersebut, yaitu hanya matematika formal saja. padahal, Masih banyak tahap yang ada di bawahnya yang sangat mempengaruhi kekokohan pengetahuan yang dibangun. Seperti halnya sebuah rumah, pondasi rumah adalah yang paling dasar, tak bisa kita langsung membangun atapnya tanpa ada pondasi dan dinding. Begitu pula dengan matematika, Untuk membangun pengetahuan matematika siswa maka pertama yang harus dibangun adalah dengan hal-hal yang konkret, yang ada di dalam kehidupan siswa sehari-hari. Harus dipastikan bahwa tahap ini terbangun dengan kokoh, dan dilanjutkan dengan tahap selanjutnya.
Hal ini diadopsi pula untuk pendekatan  Pendidikan Matematika Realistic Indonesia . Pengetahuan matematika dibangun dari hal-hal yang konkrit, kemudian baru ke skema, kemudian model, baru terakhir ke matematika formal. Porsi pembelajaran matematika dengan hal-hal konkrit adalah yang paling besar dibanding dengan yang lain. Bila diuraikan, maka tahapan pengkostruksian pengetahuan dalam pembelajaran matematika adalah sebagai berikut:
1. Tahap Konkrit
Pada tahap ini, siswa dihadapkan dengan matematika konkrit. Apakah matematika konkrit itu? Ternyata semua yang kita lihat, yang ada dalam kehidupan sehari-hari siswa, itulah yang disebut matematika konkrit. Misalnya, pohon, karet, kursi dll, dapat kita bawa ke matematika konkrit. Dalam tahapan ini, guru harus memastikan bahwa pengetahuan yang dibangun siswa dalam tahap ini kokoh, baru melanjutkan ke tahapan selanjutnya.
2. Tahap Model Konkrit
Contoh-contoh konkrit ketika sudah dituangkan dalam gambar, atau guru menempelkan foto benda konkrit, maka itu sudah menjadi model konkrit. Mengapa disebut model konrit? karena telah terkena manipulasi/ campur tangan guru, bukan lagi benda yang konkrit, namun model konkrit.
3. Tahap Model formal
Dari model konkrit, siswa dibawa ke tahap model formal. Misalkan saja dalam pecahan, dengan gambar (model tertentu) siswa   membangun   pengetahuan bahwa
½ + ½ = 1. Namun pada tahap ini, siswa masih menggunakan model, sehingga disebut model formal. 
4. Tahap Matematika formal
Dalam tahap ini, siswa sudah dihadapkan dengan matematika formal, dalam bentuk simbol-simbol seperti matematika yang umumnya diberikan di sekolah-sekolah. Karena siswa membangun pengetahuan matematika mereka dari matematika konkrit, model konkrit dan model formal, maka siswa akan lebih mudah membangun pengetahuan matematika formal mereka karena telah memiliki dasar yang kuat.